Selasa, 02 Juni 2009

RIWAYAT

RIWAYAT TEATER CABANG

Awalnya bincang-bincang seputar perbedaan teater kampus dan teater independen. Terungkap di sana, realitas profesi kesenian di tengah kompelsitas manajemen. Ada dua lembaga yang semula menggagas kerja sama: Centre for Culture Research and Sosialization (C2RS), pusat penelitian dan sosialisasi kebudayaan dan Unit Kegiatan Mahasiswa Teater di beberapa kampus, seperti IAIN, Unand dan UNP. Maka, mengapunglah wacana, menjadikan seni pertunjukan sebagai media sosialisai sejumlah hasil penelitian. Pertanyaan paling penting dalam diskursus ini, bisakah seni pertunjukan mewadahi cita-cita tersebut?

Wujud dari diskusi demi diskusi yang digelar, terbentuklah teater cabang di bawah naungan lembaga C2RS. Filosofi yang diusung: bukankah kekuatan batang juga terletak pada cabang. Dan bunga, cikal buah, akan menunas di sana?

Tampil pada Festival Teater Sumbar 2007 dengan Naskah Kereta Kencana, Iogene Ionesco, Sutradara: Zelfeni Wimra, merupakan debut pertama Teater Cabang. Penampilan Kampung Hilang, naskah/Sutradara Zelfeni Wimra, Pada Temu Karya Teater Sumbar 2009 adalah yang kedua.

Sinopsis

SINOPSIS KAMPUNG HILANG

Tidak banyak yang tahu, mengapa kampung itu hilang. Ada yang mengatakan, seorang keramat telah menyembunyikan kampung hilang itu dengan kesaktiannya dari pandangan penjajah. Sayangnya, seorang yang keramat itu, Datuak Julan, meninggal dunia sebelum rajah yang ditanamnya untuk menghilangkan kampung hilang itu dicabut. Walhasil, hingga kini kampung itu hilang dari pandangan.

Begitulah. Yang tersisa sekarang hanya kabar. Konon, di kampung hilang itu dahulu, seorang tukang pangkas saja bisa jadi pahlawan. Apalagi mereka yang memanggul senjata untuk melawan penjajah. Konon, kualitas hidup di sana sangat sejahtera. Pemimpinnya adil, tetuanya keramat, masyarakatnya rajin bekerja dan sebagainya.

Perlahan, kabar itu menyedot perhatian sejumlah pemerhati dan peneliti sejarah. Tersiar pula kabar, para turis yang berwisata melalui jalur udara, melihat ada sebuah kampung di tengah hutan raya. Anehnya, setelah disusuri lewat jalan darat, kampung tersebut tidak ditemukan. Di manakah sebenarnya kampung hilang itu. Inilah teta-teki paling rumit yang dipecahkan banyak orang hari ini.

Catatan Sutradara Kampung Hilang

MENENGOK IDENTITAS LEBIH DALAM


Ketika seorang anak usia sekolah dasar ditanya, darimana asal air, ia akan menjawab: dari kran. Bagaimana lagi, sekolah kita menjauhkan anak-anak dari lumpur dan mata air. Kecurigaan semacam ini pernah dilontarkan Aprizal Malna, saat diskusi pada Festival Teater Aternatif GKJ Awards 2003. Saya berminat meneruskan atensi seperti ini ke dalam analisa yang lebih konstruktif, tentunya dengan fakta yang teruji.

Benar, saya pun menemui, ketika seorang anak usia sekolah dasar diminta membedakan mana kerbau, keledai, mana sapi dan kuda, akan terjadi perdebatan antara mereka. Juga akan terjadi diskusi hangat antar mereka menjawab pertanyaan berikutnya: Bisakah itik berkokok?; Apa beda kacang padi dan kacang panjang?; apa beda merah sago dan merah lado? Dan serentetan pertanyaan lain menunggu.

Saya pun jadi percaya, bahwa jika ingin mengerti anjing, bertanyalah pada seorang peburu. Mau memahami laut, bercengkeramalah dengan nelayan dan seterusnya. Merumuskan dan mengenali identitas tidak bisa dilakukan hanya dengan mengelompokkan ciri-ciri fisik saja. Di balik konstruksi fisik, terdapat cara pandang, pemahaman, dan ini disebut dengan jiwa identitas. Teorinya, sih, begitu.

Realitas yang tidak jauh berbeda saya temui sepanjang melakukan penelitian di Centre for Cultural Research an Socialization (C2RS) dengan mengusung beberapa tema: Jejak Kerajaan di Minangkabau, posisi Minangkabau dalam bela negara, kasus PDRI dan PRRI. Setiap kali bertanya kepada masyarakat Minagkabau itu sendiri: berapa kerajaan di Minangkabau? Apakah nilai budaya Minangkabau yang masih Anda pegang dan praktikkan dalam kehidupan sehari-hari? Kemanakah Anda menyelesaikan sengketa, ke lembaga Adat atau ke lembaga hukum negara? Jawabannya, rata-rata setara dengan jawaban anak usia sekolah dasar menjawab pertanyaan apa beda kuda dengan keledai?

Maka, ada satu pertanyaan yang tak masuk akal bagi banyak orang. Apakah Anda tahu Kampung Hilang? Atau jangan-jagan Anda berasal dari Kampung Hilang? Dari pertanyaan seputar Kampung Hilang tersebutlah, sebuah pertunjukan teater dirancang dengan mencoba mengapresiasi realisme magic, tampil sebagai wujud sublimasi terhadap kecenderungan bercerita masyarakat Latin.

Kampung Hilang mungkin saja isu, mitos. Tetapi pada tingkat pemahaman tertentu, Kampung Hilang itu benar-benar ada. Sebab, sepanjang era krisis ini, energi untuk mengurus identitas diri, budaya, dan ideologi lainnya sering tidak tersedia cukup. Jangankan kampung, tubuh yang setiap hari diusung manusia, juga bisa “hilang” di belantara kesibukan dan jejaring sistem yang melembagakannya.

Padang, 31 Juni 2009

Zelfeni Wimra

KAMPUNG HILANG



TEMU KARYA TEATER SUMATERA BARAT 2009

Kampung Hilang
Naskah/ Sutradara: Zelfeni Wimra
Produksi ke 2 Teater Cabang

Pimpro: Alee Kitonanma
Supervisor: Ilhami el Yunusyi

Pemain:

Adil Wandi Sebagai Rajo
Feranndo Marco sebagai Ikia
Desi Asnita sebagai Manih
Muhammad Zikri sebagai Santiang